Sebenarnya
jujur, saya males aja bikin tulisan tentang Ibnu Sina. Ini ada hubungannya
karena saya juga gak punya minat untuk menelusuri sejarah dunia permedisan.
Apalagi saya sebenarnya mahasiswa Ilmu Komunikasi. Tapi kalau dipikirpikir saya
udah lama banget gak bikin tulisan.
Entah bagaimana
ceritanya, saya diperkenalkan dengan film produksi Jerman tahun 2013 berjudul The Physician atau dirilis di negara
asalnya dengan judul Der Medicus.
Melihat di posternya ada aktor sesepuh Inggris, Ben Kingsley, yang sudah sering
main di beberapa film-film terkenal, saya jadi tertarik juga menonton film ini.
Apalagi setelah saya baca informasinya di Wikipedia dan beberapa situs-situs
pengulas film bahwa aktor blasteran India-British inilah yang akan memerankan
tokoh kedokteran Ibnu Sina. Yup, dianugerahi keturunan campuran, seniman
bernama asli Khrishna Bhanji ini sudah sering memerankan karakter-karakter
dalam berbagai etnis seperti sebagai Merlin/Ambrosinus, tokoh legendaris bangsa
Celtic, dalam film The Last Legion (2007),
Mandarin dalam film Iron Man 3 (2013),
seorang figur Maori, suku asli Selandia Baru, dalam film Ender’s Game (2013), raja Mesir Kuno dalam film Night At The Museum 3: Secret Of The Tomb (2013),
dan bahkan seekor naga dalam film Dragonheart
3: The Sorcerer’s Curse (2015). Gak heran kalau doi sampai digelari Sir Ben
Kingsley, CBE oleh Ratu Elizabeth.
Kembali kepada
pembahasan tentang filmnya. Awalnya saya pikir Ibnu Sina muncul sebagai tokoh
utama, ternyata saya salah. Beliau hanya muncul sebagai pemeran pembantu.
Sedangkan tokoh utamanya adalah seorang karakter fiktif bernama Robert Cole
yang diperankan aktor muda Inggris, Tom Payne. Kisahnya sendiri berjalan
bagaimana si Robert ini pergi mengembara dari tanah Britania ke Isfahan, Persia
demi mempelajari ilmu medis dari Bapak Kedokteran, Ibnu Sina. Setelah mendapat
info tambahan bahwa para penguasa Muslim tidak menerima seorang penganut
Kristiani dan hanya menerima Muslim dan Yahudi masuk ke wilayah mereka, Robert
menyamar menjadi seorang Yahudi dengan nama Jesse bin Benjamin. Kita sendiri
kemudian menyadari bahwa Robert mendapatkan nama itu dari dua orang anak
bernama Jesse dan Benjamin yang ia temui di pemukiman Yahudi Inggris saat ia
hendak menemani ayah angkatnya berobat.
Saat ia sampai
di Timur Tengah, ia bergabung dengan sekelompok kafilah yang juga menuju
Isfahan. Kafilah tersebut ternyata membawa seorang gadis Yahudi dari Spanyol
bernama Rebecca (Emma Rigby) untuk suatu urusan yang tak ingin ia ceritakan kepada
Robert. Sesampainya di Isfahan, bukan berarti dia bisa langsung bergabung dalam
madrasah, ia harus berhadapan dengan seorang mullah fanatik bernama Davout
(Fahri Yardim). Bahkan tanpa belas kasihan, Davout menyuruh para pengawalnya
untuk memukuli Robert dan membuangnya ke tengah jalan hingga ia kemudian
ditolong oleh Ibnu Sina (Ben Kingsley). Dengan kemurahan hatinya, Ibnu Sina tak
hanya menolong Robert tapi juga memberinya sinyal hijau untuk bergabung dengan
madrasahnya. Pemuda itu juga bergabung dengan dua orang sahabat barunya, Mirdin
Askari (Michael Marcus), seorang Yahudi Persia yang mengizinkan Robert tinggal
di rumahnya, dan Karim (Elyas M’Barek), anak orang kaya yang pemalas dan gemar
bersenang-senang.
Disamping banyak
menyorot Robert Cole dan Ibnu Sina, film ini juga menyorot kehidupan Shah Ala
al-Daula (Olivier Martinez), penguasa Isfahan, yang ingin menjadi teman baru
bagi Robert menggantikan Karim yang meninggal karena wabah pes, juga upaya invasi
bangsa Seljuk pimpinan Tughril Beg (Vincent Ebrahim) yang ternyata diam-diam
telah bekerja sama dengan Davout dan kaum fanatik yang mebenci era kepemimpinan
Shah. Konflik asmara gaya Hollywood juga muncul saat Robert kembali bertemu
dengan Rebecca. Namun sayang, doi telah dilamar oleh seorang tokoh Yahudi
terkemuka bernama Bar Kapparah (Stanley Townsend).
Dari yang saya
dapatkan informasinya baru-baru ini, film ini diadaptasi dari novel berjudul
sama karya Noah Gordon. Walau saya belum membaca novelnya (jangankan baca, liat
sampulnya aja belum pernah), tapi saya malah sudah mendapatkan ulasan-ulasan
negatif tentang film ini di situs iMDB. Ada yang bilang sejarahnya nggak karuan
lah, ada juga yang bilang nggak sesuai sama novelnya lah… Itu memang kata
mereka yang mungkin sudah baca novelnya juga dan lebih tahu sejarah ketimbang
saya. Karena itulah, saya mencoba mengulas sendiri dengan bahasa saya sendiri.
Yup, sesuai
judul artikel ini, saya berusaha melihat dan mempelajari bagaimana kiranya
orang barat (baca: non-muslim) melihat Islam dan kulturnya. Perlu diketahui,
bahwa The Physician bukanlah film barat pertama yang memperlihatkan Islam lewat
kacamata mereka. Sebelumnya sudah ada Kingdom
Of Heaven (2004), Nomad: The Warrior (2005),
Arn The Knight Templar (2007) dan masih
banyak lagi. Mungkin sudah kebayang dalam pikiran kita gimana kiranya bila
orang barat memperlihatkan bagaimana itu Islam dalam media mereka. Apakah
mereka menggambarkan muslim selalu sebagai kelompok radikalis? Nyatanya nggak
juga. Seperti dalam film-film yang judulnya sudah saya sebut diatas,
figur-figur seorang Muslim cukup sering digambarkan sebagai sosok yang
bijaksana dan patriotik. Walau kadang masih ada juga rasa gaya hidup orang
barat –entah kesalahan atau disengaja- muncul dalam sosok si Muslim dalam film
tersebut. Dan tentunya karena yang membuat film-film tersebut adalah mereka
yang non-muslim, jadi jelas penggambaran figur muslim yang dimunculkan masih jauh
dari kesan seperti seorang muslim yang sesungguhnya.
Begitupun dalam film
arahan sutradara Phillip Stolzl ini. Kesalahan para filmmaker yang terlibat
bukan hanya sebatas pada akurasi sejarah ataupun kesamaan dengan novelnya saja,
tapi juga pada kultur yang ditampilkan. Hmmm... mungkin karena yang bikin orang
barat kali ya, Isfahan dan para penduduknya malah seakan bukan seperti sebuah
kota di wilayah Persia tapi malah lebih mirip kota-kota pusat peradaban Islam
di Syam dan Andalusia. Mungkin juga karena banyaknya anggapan salah di kalangan
masyarakat barat yang menganalogikan Islam dengan Arab. Jadi ya Isfahan yang
dibuat sedemikian rupa oleh para kru yang terlibat, mungkin dengan tekhnik CGI
yang canggih dan properti di studio yang menghabiskan banyak biaya, malah entah
mengapa kok sekilas terlihat mirip Yerusalem di film Kingdom Of Heaven. Dari
beberapa ulasan yang saya dapat di situs-situs berbahasa Inggris tepat setelah
rampung menonton filmnya, kesalahan bahasa juga muncul dikarenakan para figuran
di Isfahan berbicara dalam bahasa Arab (kata mereka aksen Lebanon) bukan Persia.
Saya malah gak merhatiin. Teliti banget ya para reviewer film profesional. Shah
sendiri muncul sebagai figur penguasa yang angkuh, agak manja, gemar
bersenang-senang, doyan bunuh orang, berburu, dan punya harem (search sendiri
di Google apa itu harem). Mirip seperti gambaran para sultan di film-film jadul
1001 malam versi Hollywood.
Untuk akurasi
sejarah, patut diperhatikan juga menurut saya. Seperti pada Braveheart (1995)-nya Mel Gibson, dimana
William Wallace dan Queen Isabel ternyata tak pernah hidup semasa, kesalahan
historical timeline juga terjadi dalam film ini. Ibnu Sina dan Shah
diperlihatkan mati pada waktu yang sama ternyata tak benar. Ibnu Sina meninggal
pada tahun 1037 M. Sementara Shah Ala al-Daula meninggal empat tahun kemudian. Saya
sendiri juga masih bingung apakah benar Tughril Beg berhadapan dengan Shah Ala
pada upaya penaklukan Isfahan. Dan yang paling parah... Ibnu Sina mati bunuh
diri. Ouch... Walau faktanya Ibnu Sina wafat di atas ranjang karena suatu
peyakit.
Disamping banyaknya kesalahan sejarah dan kultur yang ditampilkan, namun
pak Philip tetap berhasilkan menghidupkan suasana peradaban Islam Abad
Pertengahan yang disebut juga oleh para sejarawan sebagai Islamic Golden Age.
Menurut saya, pra kru sepertinya cukup serius dalam menampilkan eksterior yang ada
dan hasil kerja mereka tetaplah untuk patut diapresiasi. Busana figuran yang
bermacam-macam sesuai zamannya, akting dari aktor muda dan aktor sepuh yang
cukup meyakinkan, keindahan arsitektur Islam lewat teknologi CGI yang canggih,
serta keindahan sinematografi yang tak bisa dilupakan menambah daya tarik pada
film ini. Jujur, masih jauh lebih bagus daripada film produksi BBC berjudul Krakatoa: The Last Days (2004) yang
menampilkan Hindia-Belanda (sekarang Indonesia) dengan wujud yang pas-pasan.
Hanya berbekal para figuran berblangkon, bersarung batik, dan beskap serta
wanita-wanita berkebaya tapi anehnya berwajah India.
Masih jauh lebih lagi, menurut saya, bila film yang menceritakan
tokoh-tokoh Islam ditangani oleh para sinemais Islam agar tidak terjadi
kesalahan serupa yaang telah muncul pada The Physician ini dan film-film
sebelumnya. Contohnya minseri TV Omar (2012)
yang tak pernah henti-hentinya saya kagumi karena begitu serius menampilkan
perjalanan hidup Amirul Muknin Khalifah Umar bin Khattab ra. Bagaimanapun juga,
saya rasa The Physician a.k.a Der Medicus adalah film yang wajib ditonton oleh
kalangan muslim karena dengan film ini kita bisa melihat bagaimana orang barat
memandang kita. Dan semoga kedepannya para sinemais muslim dapat menggarap
film-film sejarah Islamlewat cara pandang seorang muslim sendiri.
izin share
BalasHapus