Tak terasa sudah kita telah memasuki
penghujung bulan Ramadhan. Hanya dalam hitungan beberapa hari lagi saja, kita
akan segera kedatangan bulan selanjutnya, yaitu bulan Syawal. Mungkin bagi
sebagian orang, datangnya tanggal 1 Syawal adalah kemenangan bagi mereka.
Lebaran, mudik, THR, busana baru dan berakhirnya kewajiban berpuasa untuk tahun
ini. Mereka begitu bahagia hingga seakan-akan mereka melupakan Ramadhan yang
meninggalkan mereka. Mungkin tak masalah berbahagia di hari lebaran. Namun
patutkah kita berbahagia akan perginya Ramadhan?
Ramadhan pastilah akan datang pada
setiap tahunnya. Ia adalah tamu mulia dan sebaik-baik tamu yang pernah diutus
oleh Allah Swt kepada kita semua.
Bayangkan bila seorang pejabat mendatangi rumah kita. Pastilah kita kepalang
senangnya. Apalagi tamu yang paling mulia se-dunia dan akhirat. Patutlah kita lebih bangga lagi. Tapi apa
boleh buat, kita malah menyambut tamu suci tersebut dengan ‘suguhan-suguhan’
kualitas rendahan.
Ketika adzan isya berkumandang,
bukannya beranjak menuju masjid, kita malah asyik nongkrong bersama teman-teman
seumuran. Lebih memilih ngobrol daripada ikut rapatkan shaf menghadap Tuhan
secara berjamaah. Alasan-alasan pun kita buat-buat, seperti rakaat tarawih yang
terlalu banyak, imam yang bacaannya cepat, takut sandalnya beralih kaki sampai
sibuk dan menganggap punya urusan lebih penting. Bahkan –naudzubillah min
dzalik- kalau selama nongkrong dan ngobrol, omongan kita penuh dengan dusta dan
ghibah a la infotainment murahan televisi. Omongannya penuh dengan info-info
boroknya Dimas, Rizky, sampai Iqbal. Tapi boroknya sendiri yang tiga kali lipat
lebih besar nyaris tak dipedulikan hingga begitu bernanah.
Saat jam 12 siang ketika matahari
begitu teriknya, kawan-kawan kita berusaha menahan nafsu mereka yang sedang
diuji. Namun bagaimana dengan kita? Kita tahu warung makan yang pemiliknya
adalah kenalan kita. Kemudian kita memasuki warung tersebut lewat pintu
belakang sambil berpura-pura ramah kepada sang pemilik warung. Tentu saja
karena kita adalah teman-temannya, ia tak segan menyuguhi kita nasi dengan
sayur, orek tempe dan lauk ayam serta es teh sebagai penyegar. Dengan harga
yang belum bisa dibilang mahal pula. Baru saja kita menganggap tamu suci
Ramadhan kalah pentingnya dengan sepiring nasi dan segelas es teh. Begitu
kepergok oleh teman yang berpuasa, dibuatlah alasan-alasan super murah.
Seandainya kisah Pinocchio itu bisa dialami semua orang, entah seberapa panjang
hidung kita saat itu.
Dan berbagai hal-hal lain yang
membuat kita tanpa sadar menganggap Ramadhan seakan adalah tamu yang tak kita
sukai. Seakan kita harapkan kepergiannya segera. Dan begitu sudah sampai
penghujung kunjungannya, kita anggap itu sebagai sebuah kemenangan. Bayangkan
ketika ada tamu orang istimewa tapi malah tidak kita sambut dengan baik, kita
harap kepergiannya dan begitu bangga saat ia beranjak pamit.
Ramadhan tak pernah meninggalkan
kita. Karena memang jadwal kunjungannya adalah satu bulan setiap tahunnya.
Sementara sebelas bulan lainnya adalah jadwal kunjungan bagi tamu-tamu lainnya.
Ramadhan sudah pasti akan datang berkunjung setiap tahunnya. Kitalah yang tak
pasti. Entah sengaja atau tidak, malah kita tinggalkan. Hingga waktunya datang
dimana Tuhan mengutus Izrail As mencabut nyawa kita perlahan dan kita tak bisa
ikut serta menyambutnya pada tahun-tahun mendatang. Sekali lagi, kitalah yang
meninggalkan Ramadhan.
Karena itulah, ada baiknya kita
manfaatkan waktu-waktu terbaik kita selama Ramadhan hadir di rumah kita.
Sambutlah ia seakan engkau menyambut pengantin baru, suguhilah ia dengan al Qur’an
dan suguhan-suguhan istimewa lainnya dan lepaslah kepergiannya seakan engkau
ditinggal orang yang paling kau cinta serta rasa khawatir takkan bisa bertemu
lagi tahun depan.
Bekasi, 7 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar