Sabtu, 02 Juli 2016

Ramadhan Tak Pernah Meninggalkan Kita


Tak terasa sudah kita telah memasuki penghujung bulan Ramadhan. Hanya dalam hitungan beberapa hari lagi saja, kita akan segera kedatangan bulan selanjutnya, yaitu bulan Syawal. Mungkin bagi sebagian orang, datangnya tanggal 1 Syawal adalah kemenangan bagi mereka. Lebaran, mudik, THR, busana baru dan berakhirnya kewajiban berpuasa untuk tahun ini. Mereka begitu bahagia hingga seakan-akan mereka melupakan Ramadhan yang meninggalkan mereka. Mungkin tak masalah berbahagia di hari lebaran. Namun patutkah kita berbahagia akan perginya Ramadhan?


 Ramadhan hanya muncul 30 hari dalam setahun. Tepatnya hanya satu bulan saja. Tidak dua bulan, tidak pula tiga bulan. Cukup satu bulan, sangatlah singkat. Tapi bila dihitung dengan penyesuaian lamanya kita hidup di dunia, mungkin Ramadhan telah terjadi selama lebih dari setahun. Begitu banyak waktu yang berbaik hati pada kita dimana kita diberinya kesempatan untuk mensucikan diri kita. Namun apa mau dikata? Kita meninggalkan Ramadhan begitu saja. Asyik dengan urusan sendiri. Hingga waktu satu bulan itu terbuang begitu saja. Kita sendiri sudah tahu bahwa kematian itu bisa datang kapanpun dengan cara apapun. Tapi masih saja kita permainkan waktu hidup sendiri.

Ramadhan pastilah akan datang pada setiap tahunnya. Ia adalah tamu mulia dan sebaik-baik tamu yang pernah diutus oleh Allah Swt  kepada kita semua. Bayangkan bila seorang pejabat mendatangi rumah kita. Pastilah kita kepalang senangnya. Apalagi tamu yang paling mulia se-dunia dan akhirat.  Patutlah kita lebih bangga lagi. Tapi apa boleh buat, kita malah menyambut tamu suci tersebut dengan ‘suguhan-suguhan’ kualitas rendahan.

Ketika adzan isya berkumandang, bukannya beranjak menuju masjid, kita malah asyik nongkrong bersama teman-teman seumuran. Lebih memilih ngobrol daripada ikut rapatkan shaf menghadap Tuhan secara berjamaah. Alasan-alasan pun kita buat-buat, seperti rakaat tarawih yang terlalu banyak, imam yang bacaannya cepat, takut sandalnya beralih kaki sampai sibuk dan menganggap punya urusan lebih penting. Bahkan –naudzubillah min dzalik- kalau selama nongkrong dan ngobrol, omongan kita penuh dengan dusta dan ghibah a la infotainment murahan televisi. Omongannya penuh dengan info-info boroknya Dimas, Rizky, sampai Iqbal. Tapi boroknya sendiri yang tiga kali lipat lebih besar nyaris tak dipedulikan hingga begitu bernanah.

Saat jam 12 siang ketika matahari begitu teriknya, kawan-kawan kita berusaha menahan nafsu mereka yang sedang diuji. Namun bagaimana dengan kita? Kita tahu warung makan yang pemiliknya adalah kenalan kita. Kemudian kita memasuki warung tersebut lewat pintu belakang sambil berpura-pura ramah kepada sang pemilik warung. Tentu saja karena kita adalah teman-temannya, ia tak segan menyuguhi kita nasi dengan sayur, orek tempe dan lauk ayam serta es teh sebagai penyegar. Dengan harga yang belum bisa dibilang mahal pula. Baru saja kita menganggap tamu suci Ramadhan kalah pentingnya dengan sepiring nasi dan segelas es teh. Begitu kepergok oleh teman yang berpuasa, dibuatlah alasan-alasan super murah. Seandainya kisah Pinocchio itu bisa dialami semua orang, entah seberapa panjang hidung kita saat itu.

Dan berbagai hal-hal lain yang membuat kita tanpa sadar menganggap Ramadhan seakan adalah tamu yang tak kita sukai. Seakan kita harapkan kepergiannya segera. Dan begitu sudah sampai penghujung kunjungannya, kita anggap itu sebagai sebuah kemenangan. Bayangkan ketika ada tamu orang istimewa tapi malah tidak kita sambut dengan baik, kita harap kepergiannya dan begitu bangga saat ia beranjak pamit.

Ramadhan tak pernah meninggalkan kita. Karena memang jadwal kunjungannya adalah satu bulan setiap tahunnya. Sementara sebelas bulan lainnya adalah jadwal kunjungan bagi tamu-tamu lainnya. Ramadhan sudah pasti akan datang berkunjung setiap tahunnya. Kitalah yang tak pasti. Entah sengaja atau tidak, malah kita tinggalkan. Hingga waktunya datang dimana Tuhan mengutus Izrail As mencabut nyawa kita perlahan dan kita tak bisa ikut serta menyambutnya pada tahun-tahun mendatang. Sekali lagi, kitalah yang meninggalkan Ramadhan.

Karena itulah, ada baiknya kita manfaatkan waktu-waktu terbaik kita selama Ramadhan hadir di rumah kita. Sambutlah ia seakan engkau menyambut pengantin baru, suguhilah ia dengan al Qur’an dan suguhan-suguhan istimewa lainnya dan lepaslah kepergiannya seakan engkau ditinggal orang yang paling kau cinta serta rasa khawatir takkan bisa bertemu lagi tahun depan.

Bekasi, 7 Juli 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar