Namun
jika dimaknai secara sempurna lebaran (dalam ajaran Islam) bukan hanya
karena perputaran dan siklus secara berulang-ulang datangnya, tapi mesti
merujuk pada kata selanjutnya yaitu Al Fithr.
Al Fithr inilah sesungguhnya inti dari lebaran dalam ajaran Islam,
sehingga perlu kita cermati dan kita kritisi hakekat maknanya secara
mendalam. Karena kesalahan dalam memahaminya akan berakibat kegagalan
dalam menyelami makna terdalam yang ada di dalamnya.
Istilah
Al Fithr pada dasarnya terkait erat dengan konsep kesucian pembawaan
(Al Fithrah) dalam ajaran Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam untaian
mutiara kalam Nabi Muhammad SAW, yaitu :
Kullu Mauludin Yuuladu ‘alal Fitrah
“(setiap manusia dilahirkan dari perut ibunya dalam keadaan suci dan bersih)”
Konsep
fitrah yaitu suatu pembawaan manusia berupa ajaran tauhid ketuhanan
yaitu penyaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Sehingga secara
alami/natural manusia itu bersifat hanif (mencari yang benar/kebenaran).
Maka
dengan datangnya Idul Fitri tahun ini sebenarnya merupakan momen yang
tepat untuk merefleksikan diri (secara personal) tentang pembawaan diri
kita yang fithrah dan hanif. Dari sini kemudian diharapkan akan tumbuh
sikap instrospeksi secara obyektif sehingga gunungan karang-karang
kedloliman yang telah menodai kefithrahan dapat tersucikan secara
bersih.
Untuk menggapai fithrah dan
hanif tidak bisa terlepas dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan
Ramadlan yang telah kita laksanakan kemarin.
Banyak
manusia yang melakukan puasa di bulan Ramadlan tapi (tidak sedikit)
dari mereka hanya mendapatkan lapar dan haus, sebagaimana sabda Rasul : ”Kam min shaimin laisa lahu min shiyamihi illalju’i wal ‘athasyi, berapa banyak dari mereka yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa, kecuali rasa lapar dan haus.”
Jika
kita pahami makna hadis di atas secara mendalam dapat kita ambil suatu
kesimpulan bahwa dalam aktifitas puasa yang diutamakan bukan hanya pada
keadaan lapar dan haus saja, tapi yang lebih penting dan utama adalah
kemampuan mengendalikan diri (hawa annafs), Sehingga prosesi puasa yang hanya mengutamakan rasa lapar dan haus saja tak akan bermakna sama sekali secara ruhaniyah.
Oleh
karena itu untuk memahami hakekat dari puasa perlu kita lihat kembali
konsep dasar dari puasa itu sendiri yaitu denga tujuan “la’allakum tattaqun” supaya kita menjadi orang-orang yang bertakwa (Al Baqarah :183).
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ
عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٨٣
183.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Secara
vertikal (doktrin KeTuhanan), taqwa bermakna suatu sikap penghambaan
diri pada Allah dengan menjalankan segala perintahNya dan menjauhi
segala laranganNya secara kontinyu. Sedangkan secara horisontal (doktrin
kemanusiaan) Taqwa bermakna suatu sikap hidup yang dapat berdampingan
dengan lingkungannya secara damai dan tentram tanpa ada persengketaan
dan sebagainya.
Sedangkan makna taqwa
sejati adalah kemampuan mengintegrasikan kedua makna taqwa di atas ke
dalam diri setiap individu secara totalitas (kaffah).
Dengan
pemahaman demikian berarti puasa dapat dipahami sebagai proses menuju
kesejatian diri, menuju taqwa. Karena lewat aktivitas puasa inilah
tercipta Riyadlotun Nafs (olah jiwa). Dengan olah jiwa ini secara berkelanjutan akan dapat mengokohkan Himyah (penjagaan) dan Junnah (perlindungan) diri manusia dari dorongan-dorongan nafsu syahwati hayawan
(hedonisme), kenikmatan-kenikmatan sesaat, hasrat pengrusakan,
penjarahan, perampasan dan rangsangan -rangsangan untuk menindas serta
sikap-sikap non fithriyah lainnya. Karena hakekat dari puasa adalah Imsak dan Wara’ yaitu pengendalian diri serta penjagaan diri dari perbuatan-perbuatan mungkar.
Dari uraian di atas dapt kita pahami sesungguhnya ibadah puasa yang baru saja kita laksanakan merupakan suatu proses transformasi spiritual
. Artinya bahwa puasa merupakan suatu proses membangun dan mendidik
diri sehingga terwujud perubahan-perubahan dalam pola tingkah lakunya
secara positif (secara kwalitas maupun kwantitas) untuk meraih derajat
muttaqin / orang yang bertaqwa.
Antara pra puasa dan pasca puasa terjadi grafik meningkat / naik dalam beramal shalih dan upaya taqarruban ilAllah
, inilah ukuran dalam aktifitas bulan Ramadlan sehingga selepas
Ramadlan ini hendaknya kita segera mengevaluasi diri dan melakukan
perenungan dengan mata hati, mengasah nurani kita sejauh mana aktifitas
Ramadlan telah teraktualisasikan dalam kehidupan kita selanjutnya. Patut
kita tanyakan pada diri kita :
Sudah
Fithrikah kita ketika kita hidup berkecukupan sementara tetangga kita
pendapatan hari ini munkin tidak mencukupi untuk esok hari.
Sudah
Fithrikah kita ketika orang-orang di sekitar kita membutuhkan uluran
tangan kita, sedangkan kita kadang-kadang acuh tak acuh dsb.
Hal ini penting karena pada kenyataanya dari pengalaman tahun yang lalu Ghirrah
ke Islaman kita masih terkotak hanya pada bulan Ramadlan saja ,
pengekangan-pengekangan hawa nafsu seolah hanya pada bulan Ramadlan saja
selebihnya pada 11 bulan lainnya hanya rutinitas sehingga nilai-nilai
Ramadlan dengan segala kelebihannya tak terpraktekkan sama sekali.
Agaknya
inilah barangkali kelemahan atau kesalahan kita dalam memahami Ramadlan
atau ajaran Islam secara totalitas. Ramadlan dipahami sebagai bulan
ibadah tapi kemudian tanpa meninggalkan bekas atau perubahan pada
perputaran waktu selanjutnya, inilah realita yang ada pada kita yang
perlu kita luruskan perlu kita reformasi.
Dengan
perenungan-perenungan di atas nurani dan jiwa kita dapat mendomonasi
dalam setiap langkah kita, selau merasa bertanggung jawab atas apa yang
telah kita lakukan serta mengasah nurani kita untuk bersikap welas asih
mengasihi dan menyayangi pada sesamanya, sehingga kita dapat meraih
makna Idul Fitri dengan pemahaman yang benar sesuai dengan ajaran Islam.
Idul
Fitri tidak hanya dipahami sekedar berbaju baru, makan ketupat, budaya
konsumerisme, pameran materi dan kemegahan dunia dsb, karena pemahaman
yang demikian hanya menonjolkan unsur lahiriyah tanpa peresapan lebih
jauh secara ruhaniyah dan juga akan semakin mempertajam kesenjangan dan
sangat bertentangan dengan hakekat Idul Fithri, yaitu menciptakan
solidaritas dan semangat kebersamaan serta cinta kasih.
Untuk itu mari Idul Fitri sekarang ini terlebih lagi di tengah berbagai musibah yang sedang menimpa Negeri tercinta ini , kita gunakan sebagai moment untuk introspeksi atas puasa kita sebagai manifestasi ( Hablum MinAllah ) dan instrospeksi serta mawas diri terhadap realitas kehidupan sosial kita sebagai manifestasi (Hablum Minannas).
Jangan sampai kita memonopoli kebahagiaan ini, karena sesungguhnya
masih banyak jutaan saudara kita yang butuh santunan dan perhatian dari
kita, masih banyak saudara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan
sehingga pantaskah dalam kondisi yang demikian kita memonopoli
kebahagiaan dengan sikap boros, konsumeris dsb, padahal kita lahir dalam
keadaan yang sama, polos tanpa ada kelebihan sedikitpun di antara kita.
Oleh karena itu hidup saling mengasihi menjadi suatu keniscayaan dan
inilah yang harus kita refleksikan dalam kehidupan kita. Serta Idul
Fitri ini sebenarnya ujian awal bagi kita selepas ibadah puasa Ramadlan,
sejauh mana kemampuan kita menterjemahkan nilai-nilainya dalam realitas
kehidupan kita sehari-hari pasca bulan tersebut.
Namun yang jelas dan perlu kita sadari bahwa untuk mewujudkan pesan la’allakum tattaqun,
tak dapat hanya dengan menjalankan aktifitas ibadah di bulan Ramadlan
saja, tetapi sebaliknya esensinya ada pada sebelas bulan selanjutnya,
karena Ramadlan hanya ajang training dan latihan, ajang penggodokan dan pengkaderan, secara rasional orang yang sehabis mendapatkan training dapat
meningkatkan atau minimal menerapkan keilmuannya sesuai dengan bidangya
masing-masing. Kalau yang terjadi sebaliknya, dalam konteks
transformasi spiritual berarti telah gagal menjalani training dan
tentunya derajat taqwa tidak akan tercapai, karena derajat agung ini
hanya dapat diraih dengan kesungguhan, prestasi dan aktivitas ibadah
secara kontinyu dan terus menerus.
Sumber bisa dilihat di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar