Peluh keringat membasahi wajah, rambut, tubuh, dan pakaian saya serta teman-teman saya darri berbagai daerah yang tentunya kami dari satu kelas di Jurusan Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga. Saat itu kami sedang menjalankan tugas praktek lapangan di sekitar sudut-sudut Malioboro, Alun-alun Kota, Keraton Yogyakarta, dan Benteng Vredeburg. Bayangkan saja pada saat itu suhunya mencapai sekitar 33 derajat celsius dan tepat pada saat itu membuat kami berharap agar hujan segera turun (dan Alhamdulillah karena hujan turun November ini walau masih agak jarang-jarang hehe). Tidak jauh dari tempat kami berobservasi juga akan dilaksanakan konser yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi swasta (saya kasih petunjuk: yang ada naga-naganya huehuehue). Sementara itu tugas kami adalah membuat liputan reportase dari berbagai topik, yaitu profesi, sosok, dan event yang nanti hasil reportase-nya berguna untuk Ulangan Tengah Semester nanti. Saya sendiri mendapatkan kesempatan menyusun reportase bertema sosok.
Untuk menemukan sosok yang menarik untuk diwawancarai sekitar alun-alun dan Malioboro bukanlah hal yang mudah. Banyak dari orang-orang yang saya temui tidak mau diwawancarai atau malah sudah diwawancarai oleh makhluk-makhluk sebangsa saya jadi nggak mau diwawancarai lagi untuk kedua kalinya. Beruntung saya menemui pangkalan andong, yang kadang disebut delman di Jakarta atau Bekasi ataupun sado di Makassar. Saya memilih untuk tidak mewawancarai sekelompok kusir yang sedang asyik ngobrol karena khawatir mengganggu obrolan mereka. Jadi saya memilih salah satu kusir andong yang sedang duduk diatas andongnya sambil menunggu pelanggan.
Namanya Ariyadi atau kerap disapa pak Yadi merupakan pria yang cukup ramah bagi kami. Pria berumur kepala empat kaki tiga (43 tahun maksud saya hehe) ini sudah 21 tahun sejak 1994 menjalani pekerjaannya sehari-hari sebagai kusir andong di sekitar alun-alun, lingkungan Keraton, Benteng Vredeburg, Malioboro, dan sudut-sudut lain di pusat kota pelajar Yogyakarta dengan sabar. Dengan penghasilan sehari-hari sekitar Rp 30.000 sampai Rp 50.000, ayah dua anak ini mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Setiap harinya, pak Yadi berangkat dari rumahnya di Kabupaten Bantul dengan sepeda motor sejauh 13 km menuju ibukota provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara itu, istri pak Yadi yang setia mendampingi hidupnya juga membantu penghasilan dengan bekerja sebagai tukang jahit di rumahnya.
Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas, pak Yadi membantu kedua orangtuanya menggarap sawah milik keluarganya sendiri. Kemudian pak Yadi beralih menjadi kusir andong di sekitar alun-alun ibukota Sri Sultan. Beruntung dengan bantuan Pemerintah Daerah, anak pertama sekaligus putra pertamanya mampu melanjutkan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi di Jurusan Pendidikan Olahraga, Universitas Negeri Yogyakarta, dan sekarang ini sedang menunggu wisuda. Sementara itu, anak kedua pak Yadi, seorang putri, sedang menuntut ilmu di bangku kelas tiga di salah satu Sekolah Menengah Pertama di kota pelajar.
Pak Yadi memiliki harapan anak-anaknya bisa mendapat masa depan yang lebih baik, pendidikan yang layak, serta bermanfa’at kelak bagi nusa dan bangsa.
Jujur, saya yang mewawancarai pak Yadi saat itu di tempat kerjanya dan teman saya yang mendokumentasikan reportase (yang memang salah satu syarat berjalannya tugas yang disampaikan oleh dosen saya) sampai tercengang saat mengetahui bahwa putra pertama pak Yadi bisa melanjutkan perguruan tinggi hingga UNY yang padahal sebelumnya merupakan tempat kuliah yang paling saya impi-impikan setelah UI. Saya jadi malu, tak hanya dihadapan pak Yadi tapi juga dihadapan Allah. Padahal saat itu keadaan keluarga saya cukup mendukung tapi kalah dengan putra pak Yadi (yang padahal saya belum bertemu dengannya) yang ayahnya hanya seorang kusir andong.
Lalu bagaimana dengan kita? Sedikit renungan saja buat kita (buat saya juga tentunya). Kadang kita masih juga mengeluh terhadap apa yang sudah kita lalui dan merasa kurang puas terhadap apa yang sudah kita perbuat atapun apa yang kita punya. Disaat kita merasa kurang puas dan masih suka mengeluh, look around! Masih banyak dari mereka yang tetap tersenyum, tetap mengepalkan tangannya berusaha agar tetap tak surut menghadapi hari-hari penuh ujian.
So, bersyukurlah terhadap apa yang kita miliki. Seperti dalam lagunya bang Ali Sastra,
“Tuhan tahu kita mampu”. Tuhan ingin kita jadi manusia yang tangguh, Tuhan ingin kita tak mudah mengeluh. Tuhan sendiri memberi kita ujian sesuai kadar kita masing-masing.
“Tuhan tahu kita mampu”. Tuhan ingin kita jadi manusia yang tangguh, Tuhan ingin kita tak mudah mengeluh. Tuhan sendiri memberi kita ujian sesuai kadar kita masing-masing.
“Tuhan ada di sini, di dalam jiwa ini”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar